Pengaruh Branding Jogja Istimewa Terhadap Kepuasan Masyarakat atas Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Analisis Sentimen dan Tren Media Daring serta Kesenjangan Terhadap Aspek Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Abstrak
Penelitian ini membahas analisis kepuasan masyarakat atas jenama “Jogja Istimewa” di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diperkenalkan sejak 2015 sebagai upaya membumikan nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta sebagaimana tercantum dalam UU Keistimewaan Yogyakarta. Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif yang diuji dengan metode kuantitatif dengan data sekunder yang dikumpulkan dengan text-mining dari sejumlah media sosial dan portal media daring dalam rentang waktu 13 November hingga 13 Desember 2023. Hasil analisis sentimen menunjukkan bahwa mayoritas mention masyarakat terkait “Jogja Istimewa” memiliki sentimen positif, sementara analisis tren kata kunci mencakup kata kunci utama kuliner, wisata, dan event. Adapun presence score menunjukkan tingginya brand awareness “Jogja Istimewa”. Analisis kesenjangan menunjukkan bahwa nilai atau aspek keistimewaan Yogyakarta yang paling tergambarkan dalam masyarakat adalah kebudayaan, sementara dua nilai keistimewaan mendapatkan sentimen negatif, yakni pengangkatan Gubernur dan penataan ruang. Penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman tentang bagaimana penjenamaan dapat memengaruhi kepuasan masyarakat atas suatu tempat atau wilayah. Implikasi hasil penelitian ini yakni memberikan evaluasi bagi stakeholders dalam memilih strategi penjenamaan yang dapat meningkatkan kepuasan masyarakat dan meningkatkan jenama “Jogja Istimewa”.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sebagai provinsi yang sejak masa lalu dikenal akan keistimewaannya, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sebuah jenama tempat resmi yang salah satunya meliputi logo dan tagline jenama “Jogja Istimewa” yang dirilis pada 2015 silam. Jenama yang baru berusia 8 tahun per Desember 2023 ini seyogyanya menggantikan jenama lama dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yakni “Jogja Never Ending Asia” yang oleh karena evaluasi internal pemerintah dirasa kurang efektif sehingga dilakukan penggantian jenama oleh pemerintah. Jenama ini dapat dilihat di mana-mana di seluruh penjuru provinsi dalam wujud tagline dan logo yang terdapat pada spanduk, banner, bangku jalan, trotoar, angkutan umum, hingga kantor pemerintahan. Jenama yang sama juga adalah hasil implementasi dari peraturan pemerintah secara keseluruhan: UU Keistimewaan Yogyakarta yang diketok palu pada 2012 silam hingga Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 131 Tahun 2021 tentang Grand Design Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2022–2042 yang bahkan menyantumkan rencana kontingensi jenama ini. Pada media sosial juga sering dijumpai ragam konten dan video yang mana mengusung tagar semacam #JogjaIstimewa ataupun akun-akun yang mengatasnamakan Jogja. Ditambah lagi, terdapat aplikasi ‘palugada’ besutan Pemprov DIY dengan nama aplikasi “Jogja Istimewa”.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan banyaknya media yang kemudian mencantumkan, mengintegrasikan, hingga membumikan nilai dari “Jogja Istimewa”, maka dalam manajemen suatu jenama sebagaimana penjenamaan ini merupakan suatu program dari pemerintah setempat melalui Humas Pemprov DIY, adalah penting untuk melakukan monitoring evaluasi berkala atas pelaksanaan ragam strategi penjenamaan DIY, khususnya dalam hal kepuasan atau satisfaction atas jenama “Jogja Istimewa” untuk sekiranya dapat dilakukan evaluasi lebih lanjut dalam strategi place-branding sehingga dapat dirumuskan dan dipikirkan ulang strategi lebih tepat dalam kala waktu berikutnya. Adapun sentimen yang dimaksud pada umumnya terbagi atas dua kubu: positif atau negatif. Penilaian sentimen menjadi salah satu wujud penilaian kepuasan atas jenama “Jogja Istimewa” di samping penilaian atas dasar gambaran yang tercipta dalam masyarakat umum setelah sekian interaksi terhadap jenama tersebut, baik luring maupun daring dalam frekuensi tertentu, perihal apa yang membuat Yogyakarta istimewa sebagaimana slogan “Jogja Istimewa” yang kemudian mengindikasikan pula terpenuhi tidaknya tujuan awal penjenamaan “Jogja Istimewa” sebagai sarana pengenalan akan status keistimewaan DIY dengan kelima aspek keistimewaannya sebagaimana diatur dalam UU №13 Tahun 2012 dalam rangka penerimaan yang lebih baik dari masyarakat.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yakni, “Bagaimana pengaruh penjenamaan Jogja Istimewa terhadap kepuasan Masyarakat atas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya terkait status keistimewaannya?”.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah berikut pertanyaan penelitian, dapat dirumuskan pula tujuan penelitian yakni diketahuinya pengaruh penjenamaan Jogja Istimewa terhadap kepuasan Masyarakat atas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya terkait status keistimewaannya. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi bagi stakeholders terkait perihal pertimbangan pemilihan strategi penjenamaan tempat yang dapat meningkatkan kepuasan masyarakat atas jenama tempat yang mengusung keistimewaan Yogyakarta melalui kelima aspek keistimewaan Yogyakarta yang termaktub dalam UU Keistimewaan DIY.
2. Kajian Literatur
2.1. Penjenamaan Tempat
Govers dan Go (2009) mendefinisikan penjenamaan tempat atau place branding sebagai suatu kegiatan pemasaran meliputi penciptaan nama, simbol, logo, grafis sebagai pembeda, serta pengalaman terkait tempat dengan tujuan memperkuat ingatan, menciptakan citra suatu tempat, dan mempengaruhi orang untuk berkunjung. Selain definisi tersebut, terdapat pula ragam definisi lainnya yang mana berbagai definisi mengenai jenama tempat,
terdapat kata kunci yang perlu untuk digarisbawahi sebagai domain jenama tempat. Ragam definisi tersebut membentuk spektrum dari definisi jenama tempat sebatas logo dan slogan hingga ke ranah lain (Ashworth, 2007). Zavatarro (2014) telah mencoba membuat semacam kuadran definisi-definisi berikut implementasi jenama tempat dalam empat kuadran, sebagaimana pada Gambar 2.
2.2. Place Branding Satisfaction
Penjenamaan tempat atau place branding tak selalu berbicara mengenai strategi sebatas membuat logo atau menyusun tagline. Sebagaimana disampaikan oleh Govers dan Go (2009), penjenamaan tempat berkaitan dengan bagaimana menjaga reputasi dari suatu tempat; reputasi place brands tercipta dari aspek-aspek berupa imaji atau gambar yang tercipta atas suatu tempat dalam benak jutaan individu dari seluruh dunia — dalam place image.
Berbicara mengenai imaji suatu tempat atau place image maka ada kaitannya dalam hal pembentukan imaji; konstruksi mental berdasarkan sejumlah kesan yang dipilih dari arus informasi yang dapat bersumber dari sumber promosional (iklan, brosur), opini dari orang lain (keluarga/kerabat, agen travel), pemberitaan media (koran, majalah, berita televisi, dokumenter), dan kebudayaan populer (film, literatur). Lebih lanjut, dengan benar-benar mengunjungi suatu tempat tujuan, imaji akan langsung terpengaruh dan termodifikasi berdasarkan informasi dan pengalaman langsung. Ada banyak aspek yang terlibat dalam memformulasikan place image secara keseluruhan dalam pikiran pengunjung potensial, sebagaimana pada Gambar 3.
Oleh karena place image adalah hasil konstruksi personal, maka hal yang terpenting bukanlah persepsi objektif dari suatu tempat, melainkan relasi antara tempat dan individu, atau kongruitas diri (self-congruity). Imaji dapat dipengaruhi melalui latar belakang sosial budaya, karakteristik pribadi dan psikologis, dan identitas dari setiap individu. Adapun self-congruity yang dimaksud melibatkan proses mencocokkan antara konsep diri (self-concept) dari tiap pengunjung suatu tempat terhadap place image. Place image yang terbentuk dalam benak individu dapat berubah seiring dengan individu tersebut mengunjungi destinasi lainnya. Elemen dari place branding — dalam hal membentuk place image yang ditangkap seseorang — dapat dikelompokkan menjadi: kognitif, afektif, atau konatif; sebagaimana berdasarkan atributnya (attribute-based) disandingkan dengan holistik; fungsional disandingkan dengan psikologi; dan umum disandingkan dengan unik. Imaji yang diterima sendiri dapat tercipta dalam beragam wujud, cara, dan dengan ciri khas yang berbeda di sejumlah tempat.
Merujuk pada Gambar 4, selain dipengaruhi oleh agen yang diinduksi (pemasaran atau marketing) dan agen organik (pengalaman atau experience), imaji juga sepenuhnya dipengaruhi oleh agen-agen otonom atau atas hal apa yang disampaikan melalui media berita perihal pengaruh lingkungan dan situasi terkini, seperti kondisi ekonomi, situasi politik, perkembangan teknologi, dan perubahan secara sosial. Pengaruh lingkungan dan situasi terkini mempengaruhi imaji yang dirasakan seseorang dalam kurun waktu yang singkat. Pengaruh lingkungan dan situasi terkini tersebut hanya memberikan dampak besar atas pembentukan imaji sebelum mengunjungi tempat tersebut alih-alih setelah mengunjungi tempat tersebut, yang mana telah dipengaruhi oleh agen organik (pengalaman). Pengaruh lingkungan dan situasi terkini dapat memberikan dampak yang luar biasa atas place image, baik negatif maupun positif. Misalkan, wabah SARS pada 2004 silam yang diberitakan secara masif oleh media, mempengaruhi kunjungan wisatawan ke area terdampak. Atau, pada saat kematian Ibu Suri Ratu pada 2002 silam di Inggris yang justru meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Inggris.
Pada hakikatnya, place image terbentuk dari sebagai ruang pikir atau pengetahuan. Setiap individu berinteraksi dan berbagi narasi yang kemudian membentuk persepsi masing-masing individu atas suatu objek atau tempat. Satu sumber dan sumber lainnya mempunyai dampak yang luar biasa atas place image, berupa “word of mouth” atau “word of mouse” — secara daring, seperti dengan surel, newsgroup, laman jejaring, blog, chat room, audio atau video, dan gambar — sebagai agen organik yang diminta (solicited) maupun tidak diminta (unsolicited), sebagaimana termodelkan pada Gambar 4. Oleh karena keunikan karakteristik suatu layanan di suatu tempat, pengambilan keputusan oleh wisatawan/pengunjung kadang diasosiasikan dengan risiko finansial dan emosional yang telah diketahui atau diantisipasi. Dalam situasi berisiko tinggi seperti ini, maka “word of mouth” — informasi mulut ke mulut — atau sumber-sumber informasi personal menjadi lebih berpengaruh ketimbang sumber media yang bersifat umum.
Pada saat place brands berusaha membangun reputasi dari sisi penawaran (supply side), di sisi permintaan (demand side) terdapat imaji atau gambar yang mencakup konstruksi pribadi, sejumlah kepercayaan, ide, dan kesan dalam benak setiap individu. Persepsi-persepsi yang muncul secara individual dan dipengaruhi oleh banyak proses menciptakan ekspektasi pribadi yang harus dipenuhi oleh place brands untuk menghindari terjadinya kesenjangan kepuasan (satisfaction gap) dari suatu place brand. Oleh karenanya, place brand harus membangun imaji yang konsisten dan realistis karena imaji tersebut menciptakan ekspektasi yang harus dipenuhi pada saat individu-individu mengunjungi tempat tersebut.
Place image rupanya dapat merumuskan kriteria untuk evaluasi negatif. Sering dijumpai bahwa image yang dipromosikan cenderung dititikberatkan pada sejumlah pengalaman yang diunggulkan, yang mana jika pengunjung harus menghadapi latar atau pengalaman yang berbeda dari apa yang mereka harapkan maka evaluasi — kepuasan pengunjung — bisa jadi sangat buruk atas tempat tersebut. Kondisi ini paling mungkin terjadi atas kelompok pengunjung dengan latar belakang budaya yang beragam yang mengunjungi suatu tempat dengan latar kebudayaan yang berbeda dengan daerah asal pengunjung. Selain itu, pengunjung juga bisa merasa tidak puas atas suatu tempat jika pengalaman aktual yang mereka rasakan mungkin tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh karena place brand performance yang tidak memadai — umumnya dari warga setempat itu sendiri, oleh karena place image setempat telah terdistorsi dari yang semestinya; dari kebudayaan setempat yang sesungguhnya.
Dalam hal relasi antara imaji yang terbentuk dan penilaian evaluatif seperti kualitas yang dirasakan dan kepuasan konsumen serta pengaruh dari mereka terhadap kegiatan setelahnya — seperti kemauan untuk kembali mengunjungi tempat tersebut dan memberi rekomendasi tempat tersebut –, aspek-aspek tersebut justru berhubungan terhadap pandangan pengunjung ketimbang penyedia atau providers. Perspektif penyedia lebih kepada place branding strategy gap, place branding satisfaction gap yang menentukan kepuasan konsumen, dan terakhir yakni place branding performance gap yang menentukan kualitas layanan/tempat yang dirasakan konsumen.
Ada banyak cara di mana place image satisfaction dapat diukur. Akan tetapi, dalam kasus di Belanda sebagaimana yang diteliti oleh Govers dan Go (2009), diperoleh bahwa metode tradisional yang sepenuhnya berupa pengukuran kuantitatif tidaklah memadai. Pada saat membandingkan bagaimana persepsi dunia terhadap place image dari Dubai dengan place image dari tempat lain seperti Maroko, Wales, Florida, Singapura, Flanders, dan Kepulauan Canary, sebenarnya terdapat metode kualitatif yang ditemukan yang memungkinkan untuk pengaplikasian skala besar dengan memanfaatkan pengumpulan data secara daring dan diolah dengan komputer serta dapat dilakukan pengujian melalui metode kuantitatif — misalnya dengan kata kunci tertentu yang paling sering muncul dari suatu tempat yang diperoleh dari hasil pencarian pengunjung via internet maupun dari apa yang disediakan oleh beragam laman di internet terkait lokasi tersebut baik review maupun informasi lainnya. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa imaji global atau global image dari Dubai berubah-ubah dari benua satu ke benua lainnya, dan berbeda antara konsumen pria dan wanita. Sebagai tambahan, terlihat bahwasanya baik place image Dubai maupun studi kasus terpilih lainnya, tidak ada yang terpengaruh secara signifikan oleh pemasaran atau marketing dan promosi dari tempat (overt induced agents). Agen otonom, seperti pengaruh dan lingkungan terkini; diinduksi secara tak langsung, seperti imajinasi pengalaman suatu tempat yang terbentuk dari seni, literatur, dan budaya populer; dan organik, seperti experience — mulut ke mulut — atau via jejaring (word of mouse) jauh lebih berperan penting dalam place branding satisfaction. Belajar dari Dubai pula, membangun place image yang konsisten dan realistis menjadi tantangan utama dalam place branding, namun yang paling penting, oleh karena imaji tersebut menciptakan semacam ekspektasi yang harus dapat terpenuhi oleh pengunjung pada saat merasakan tempat tersebut; jangan sampai seperti Dubai di mana di sejumlah pasar (market) untuk wisatawan Dubai, stereotipe dan klise yang dibangun sedemikian rupa kadang kala gagal untuk menguasai pemikiran pengunjung tempat tersebut.
2.3. Status Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan status keistimewaan dari Pemerintah Pusat yang memperkuat sebutan “istimewa” yang dilabelkan oleh khalayak atas dasar kayanya potensi budaya, baik itu budaya bendawi kasat mata atau tangible culture maupun budaya berwujud sistem nilai atau intagible culture sebagaimana dipaparkan oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (2009). Pada 30 Agustus 2012, sebuah RUU telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengutip pernyataan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2012), UU Keistimewaan menjadi bentuk pengakuan sekaligus penghormatan dari negara atas keberadaan satuan-satuan pemerintah daerah yang sifatnya khusus atau istimewa.
Berdasarkan Naskah Akademik dan RUU Keistimewaan Yogyakarta (2008), ada sejumlah urgensi yang melatarbelakangi perumusan RUU guna meregulasi status keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa yang meliputi:
1. pengisian jabatan gubernur yang mana masih melahirkan kontroversi dikarenakan belum jelasnya aturan sehingga memerlukan instrumen hukum baru yang jelas;
2. pengaturan perihal substansi keistimewaan masih belum terumuskan secara gamblang, di mana dalam aturan terdahulu yakni UU №3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta, status keistimewaan Yogyakarta hanyalah sebatas label alih-alih substansi;
3. perkembangan politik Indonesia pada tingkat nasional menunjukkan masih tersendat-sendatnya proses reformasi.
Bila dikorelasikan terhadap penjenamaan tempat, maka poin kedua memiliki korelasi yang sangat gamblang.
Pada Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2012 dijelaskan bahwasanya ‘keistimewaan’ yang dimiliki Provinsi D.I. Yogyakarta adalah “keistimewaan kedudukan hukum berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut UUD 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa”. Adapun kewenangan istimewa tersebut dijabarkan lebih rinci pada Pasal 6 dan Pasal 7 dari Undang-Undang yang sama, meliputi:
1. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur;
2. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY.;
3. kebudayaan;
4. pertanahan; dan
5. tata ruang.
Adapun penyelenggaraan perihal kewenangan dalam urusan keistimewaan didasari atas nilai-nilai kearifan lokal serta keberpihakan kepada rakyat. Sebagaimana dikutip dari kajian hukum oleh BPK Yogyakarta (2013), Penetapan status istimewa bagi D.I. Yogyakarta diharapkan memfasilitasi kembalinya peran sejarah Yogyakarta sebagai sumber inspirasi dalam menjawab permasalahan-permasalahan strategis bangsa, khususnya terkait dengan permasalahan ke-Indonesiaan; kemajemukan yang terus mengalami kemerosotan di berbagai daerah.
2.4. Penjenaman Daerah Istimewa Yogyakarta
Menindaklanjuti ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemda DIY via Bappeda DIY meluncurkan penjenamaan Jogja Istimewa pada 2015 guna merombak citra Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi citra yang lebih dinamis, terbuka, dan bercirikan keistimewaan; melingkupi seluruh aspek tata kelola kehidupan di Yogyakarta dan berkaitan erat dengan Keistimewaan DIY, sebagaimana disampaikan oleh Inas (2018). Lebih lanjut, penjenamaan “Jogja Istimewa” melingkupi seluruh aspek tata kelola kehidupan di Yogyakarta dan berkaitan erat dengan Keistimewaan DIY yang mencakup lima wewenang istimewa yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 13 Tahun 2012.
Penjenamaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dititikberatkan pada jenama “Jogja Istimewa” dalam bentuk logo, tagline, dan supergrafis ini memiliki sejumlah manifestasi. Merujuk pada dokumen branding yang dirilis Pemprov DIY (2015), dalam tagline jenama “Jogja Istimewa”, termaktub manifestasi bahwasanya Setiap Pemimpin, Pejabat Pemerintahan, bahu membahu bersama warga masyarakat, “manunggal kawula-gusti” dalam semangat “Golong Gilig” untuk mewujudkan “Jogja Istimewa”. Adapun Agar “manunggal kawula-gusti” terwujud sebagai sarana mencapai “maqom keistimewaan” tersebut, maka pedoman “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” harus dihidupkan kembali dan dipegang teguh. Selain itu, termaktub pula nilai progresif; supaya bisa bersaing di dunia global, transparansi dan keterbukaan saja tidak cukup, tapi juga harus perform dan kreatif agar bisa bersaing dengan kota-kota yang lain. Nilai lainnya yakni integritas; selarasnya antara pikiran, perkataan dan perbuatan.
Khusus untuk kata “istimewa” dalam jenama “Jogja Istimewa”, Pemprov DIY (2015) merujuk pada arti kata “istimewa” menurut KBBI sebagai kata benda yang berarti beda dan lebih baik dari yang lain.; bahwasannya “istimewa” bukan hanya sekedar “status politik” namun menjadi “ruh” peri-kehidupan di Yogyakarta yang diwujudkan dalam laku “kerja keras” untuk mencapai “maqom keistimewaan” tersebut agar bisa menjadi lebih baik dari yang lain. Masih dari dokumen yang sama, Pemprov DIY berharap jenama “Jogja Istimewa” semestinya menjadi “pusaka” peradaban hari ini yang akan menjadi pedoman arah pembangunan Yogyakarta.
3. Metode Penelitian
Unit amatan dalam penelitian ini adalah seluruh pengguna aplikasi media sosial X atau Twitter dan Tiktok serta seluruh unggahan Video, berita, podcast, forum, blog, hingga website yang me-mention kata kunci “Jogja Istimewa”. Adapun unit temporal dalam penelitian ini adalah dalam rentang waktu 13 November hingga 13 Desember 2023 dalam kurun waktu satu bulan. Unit analisis dalam penelitian ini adalah perihal kepuasan masyarakat umum akan jenama “Jogja Istimewa” dalam wujud brand satisfaction yang kemudian merepresentasikan keterpenuhan nilai-nilai yang hendak ditonjolkan melalui pengenalan jenama “Jogja Istimewa”.
Pengumpulan data diambil dengan metode sekunder dengan cara text-mining di mana seluruh data berupa ketikan posting-an dari ragam media sosial meliputi: “X“ atau Twitter, Tiktok, unggahan Video di laman internet, portal berita, podcast, laman forum, laman blog, hingga laman website yang dianggap mewakili masyarakat umum dihimpun dengan bantuan laman Brand24 (www.brand24.com). Adapun data dari media sosial Facebook dan Instagram dikesampingkan karena keterbatasan akses yang dimiliki terhadap metadata dalam pengumpulan data.
Pengolahan data serta analisis data kemudian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif yang nantinya dapat diuji dengan metode kuantitatif dalam kerangka tiga analisis:
1. Analisis sentimen, yakni salah satu tugas klasifikasi teks yang bertujuan untuk mengetahui informasi subjektif dari suatu kalimat, apakah kalimat tersebut mempunyai sentimen positif, negatif, atau netral. Analisis sentimen akan mengekstrak informasi kontekstual dari sebuah teks dan kemudian menentukan sentimen teks tersebut dengan memanfaatkan algoritma dan perhitungan tertentu seperti machine-learning dan deep-learning (Matulatuwa dkk., 2017). Analisis sentimen dilakukan dengan bantuan laman Brand24.
2. Analisis tren, yakni analisis yang mengidentifikasi dan memahami perubahan terkini dalam perilaku, preferensi, dan minat pengguna. Dengan melacak tren, suatu jenama dalam hal ini “Jogja Istimewa” dapat menjadi yang terdepan dalam persaingan — atas dasar perbedaannya dengan jenama lain –, menyesuaikan strategi mereka, dan membuat keputusan berdasarkan data. Analisis tren dilakukan pula untuk mendapatkan wawasan tentang perubahan masyarakat, opini publik, dan topik yang sedang berkembang terkait jenama “Jogja Istimewa”.
3. Analisis kesenjangan, di mana hasil temuan analisis terkait sentimen dan tren terkait jenama “Jogja Istimewa” akan dibandingkan dengan kelima nilai keistimewaan DIY yang termaktub dalam UU Keistimewaan DIY di mana akan dilakukan pengelompokan secara kualitatif dengan metode word clouding yang memberikan gambaran sudahkan terpenuhi kepuasan masyarakat akan jenama “Jogja Istimewa” dan sudahkan jenama tersebut efektif dalam hal menekankan nilai-nilai keistimewaan dari Daerah Istimewa Yogyakarta itu sendiri.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Analisis Deskriptif Temuan Data
Berdasarkan hasil text-mining dengan Brand24, berdasarkan unit amatan yang telah disebutkan bahwasanya “Jogja Istimewa” paling banyak di-mention — disebut kata kuncinya — lewat Berita dengan 889 mention diikuti Twitter atau X dengan 264 mention dan selanjutnya Facebook dengan 237 mention. Artinya bahwa impresi terkait jenama “Jogja Istimewa” paling banyak muncul dalam portal pemberitaan daring.
4.2. Analisis Tren Kata Kunci
Berdasarkan hasil mention, terlihat bahwa banyak dari mention di media sosial berasal dari posting-an dengan tagar sebagaimana pada Gambar 6.
Selain tagar Yogyakarta, tagar yang paling sering disebutkan adalah tagar terkait kuliner, diikuti wisata, event, rumah, penginapan, info paviliun, “jogjahitz” — informasi terkini terkait Yogyakarta –, info tanah, dan guesthouse.
Berdasarkan Gambar 7, tercatat bahwasanya dalam kurun waktu 13 November hingga 13 Desember, tercatat bahwa mention tertinggi terjadi pada tanggal 4 Desember dengan 129 mention kata kunci “Jogja Istimewa” yang mana pada tanggal tersebut tengah dimarakkan dengan pemberitaan di media sosial perihal pernyataan seorang public figure yang menyinggung soal Keistimewaan Yogyakarta, secara spesifik perihal sistem pemerintahan yang dipimpin oleh raja. Adapun dalam kurun waktu yang sama, tanggal 6 Desember menjadi tanggal dengan jumlah pengguna terjangkau yang paling tinggi yakni sebanyak 3.512.873 reach; masih dalam range waktu yang tidak berjauhan dengan mention tertinggi pada rentang waktu yang disebutkan.
Dengan hasil temuan tren tersebut, maka dapat dilakukan pula analisis presence score terkait kata kunci jenama “Jogja Istimewa” yakni membandingkan popularitas jenama atau topik secara daring dalam satu kurun waktu dibandingkan jenama atau topik lain, atau dalam bahasa lain yakni brand awareness. Dalam kurun waktu tersebut, titik tertinggi presence score dari “Jogja Istimewa” mencapai skor 54 yang mana skor tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan 76% jenama atau topik yang disebut dalam media sosial dalam kurun waktu yang sama.
4.3. Analisis Sentimen
Berdasarkan hasil analisis sentimen, diperoleh bahwasanya terdapat 225 mention dengan sentimen positif sementara itu terdapat 88 mention negatif pada kurun waktu 13 November hingga 13 Desember 2023. Adapun mention yang sentimennya netral tidak diperhitungkan, sebagaimana pada Gambar 9.
Dalam kurun waktu yang sama, mention dengan persentase sentimen positif tertinggi terjadi pada tanggal 8 Desember dengan mention mencapai 28% dari keseluruhan mention sebagaimana pada Gambar 10 dengan korelasi mention dengan sentimen positif yakni terkait dengan destinasi di Yogyakarta.
Dalam kurun waktu yang sama, mention dengan persentase sentimen negatif tertinggi terjadi pada tanggal 8 Desember dengan mention mencapai 17% dari keseluruhan mention sebagaimana pada Gambar 11 dengan korelasi mention dengan sentimen negatif yakni terkait dengan raja Yogyakarta dalam hal pemberitaan terkait seorang publik figur yang menyinggung sistem pemerintahan di Yogyakarta.
4.4. Analisis Kesenjangan
Berdasarkan hasil word cloud dengan Brand24, diperoleh terdapat sejumlah kata kunci terkait Jogja Istimewa yang di-mention oleh seluruh pengguna media daring yang merepresentasikan impresi yang dimiliki oleh masyarakat umum terkait jenama “Jogja Istimewa”. Tidak seluruh dari hasil kata kunci memiliki korelasi terhadap kelima aspek keistimewaan Yogyakarta dan karenanya sejumlah kata kunci dieksklusi, sebagaimana pada Tabel 1.
Hasil analisis kesenjangan menunjukkan bahwasannya masyarakat umum telah memiliki kesadaran perihal sejumlah topik atau kata kunci penting yang baik itu disadari atau tidak oleh masyarakat Jogja merepresentasikan aspek keistimewaan dari Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditetapkan oleh UU Keistimewaan Yogyakarta. Perlu digarisbawahi bahwa kata kunci atau tagar yang ada dalam kurun waktu pengamatan paling banyak berkorelasi terhadap aspek keistimewaan kebudayaan yang mencapai 15 kata kunci atau tagar. Adapun aspek keistimewaan dengan kata kunci berkorelasi yang rendah yakni terkait pengangkatan gubernur dengan akta kunci raja dan kepala. Akan tetapi, aspek yang sama merupakan aspek yang sedang hangat dibahas hingga memicu kenaikan jumlah mention dan jangkauan pada rentang waktu 5–8 Desember silam.
Hasil analisis word clouding menggambarkan sejumlah kata kunci dan tagar sekaligus bagaimana frekuensi dari kata-kata kunci tersebut dipergunakan untuk me-mention Jogja Istimewa pada media daring yang ditandai dengan seberapa besar ukuran font tiap kata terhadap kata-kata lainnya sekaligus disertakan pula sentimen terkait tiap-tiap kata. Terlihat bahwa hampir sebagian besar kata kunci yang berkorelasi terhadap aspek keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sentimen positif kemudian diikuti kata kunci dengan sentimen netral. Akan tetapi, salah dua kata kunci yang berkorelasi, yakni jalan dan raja, memiliki sentimen negatif yang menjadi indikasi bahwa aspek keistimewaan yang terkait kata kunci tersebut belum sepenuhnya menerima kepuasan yang begitu baik dari masyarakat umum, dalam hal ini aspek pengangkatan gubernur dan aspek tata ruang. Adapun bila ditelusuri konteksnya, kata kunci jalan berkorelasi terhadap kemacetan ruas jalan yang terjadi di Yogyakarta khususnya menjelang musim liburan, sementara kata kunci terakhir yakni raja memiliki korelasi terhadap pemberitaan terkait publik figur yang menyinggung keistimewaan Raja sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang memicu kenaikan mention dan reaksi masyarakat pada rentang waktu 5–8 Desember 2023.
5. Kesimpulan
Jenama “Jogja Istimewa” secara umum memiliki kepuasan penerimaan yang cukup baik di dalam masyarakat secara umum dengan lebih dari 70% dari mention yang beredar dalam jagad media daring memiliki sentimen positif. Secara kekompetitifan jenama terhadap jenama lain, masyarakat umum jauh lebih mengunggulkan dan mengingat jenama “Jogja Istimewa”, ditandai dengan presence score mencapai 54% yang mana jauh lebih tinggi dibandingkan 76% jenama atau topik lainnya dalam kurun waktu yang sama. Sementara itu, bila ditinjau dari kesenjangan antara kelima aspek keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana tercantum dalam UU Keistimewaan DIY, maka aspek keistimewaan kebudayaan merupakan yang paling banyak mendapatkan impresi atau dalam hal ini paling banyak merepresentasikan gambaran masyarakat mengenai keistimewaan Yogyakarta — apa yang membuat Yogyakarta istimewa dibandingkan tempat lain. Di saat bersamaan, aspek keistimewaan DIY yang justru mendapat lonjakan mention dari warga dibandingkan sebelumnya adalah aspek keistimewaan pengangkatan Gubernur yang mana menjelaskan mengapa pada rentang waktu ini terjadi kenaikan mention serta pengguna terjangkau, tepatnya pada rentang waktu 5–8 Desember, yang sayangnya kata kunci terkait memiliki sentimen negatif dalam masyarakat pengguna media daring. Adapun selain aspek keistimewaan tersebut, aspek keistimewaan lain yakni penataan ruang juga memiliki mention dengan sentimen negatif yakni terkait dengan ruas jalan di Yogyakarta yang konteksnya terkait dengan kemacetan jalan pada musim liburan akhir tahun. Hasil analisis sentimen, tren, dan kesenjangan ini dapat menjadi pertimbangan bagi rencana strategi penjenamaan tempat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ke depannya untuk memoles bagaimana nantinya kepuasan masyarakat yang diwakili oleh sentimen positif dapat makin meningkat khususnya untuk sejumlah aspek keistimewaan yang pada rentang waktu penelitian memperoleh sentimen negatif.
Referensi
1) Ashworth, G., & Kavaratzis, M. (2007). Beyond the logo: Brand management for cities. Urban and Regional Studies Institute, Brand
Management, 16, 520–531. DOI:
2) Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2007). Kajian hukum tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses dari https://yogyakarta.bpk.go.id/wp-content/uploads/2013/06/ Keistimewaan-DIY.pdf
3) Diekson, Z.A., Prakoso, M.R.R.B. (2003). Sentiment analysis for customer review: Case study of Traveloka. Procedia Computer Science. 216(6245):682–690. DOI:10.1016/j.procs.2022.12.184
4) Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (2009). Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.
5) Govers, R., & Go, F. (2009). Place branding: glocal, virtual, and physical identities, constructed, imagined, and experienced. London: Palgrave Macmillan
6) Inas, F. (2018). Pemrekaan Jogja Istimewa dan pengaruhnya terhadap citra pariwisata dan pengalaman berwisata di Yogyakarta menurut persepsi wisatawan nusantara [Universitas Gadjah Mada]. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/158910.
7) Munawir, Koerniawan, M.D., Dewancker, B.J. (2019). Visitor perceptions and effectiveness of place branding strategies in thematic parks in Bandung City using text mining based on Google Maps User Reviews. Sustainability. 11(7):2123. DOI: 10.3390/su11072123
8) Pemerintah Indonesia. (2012). Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
9) Pemerintah Indonesia. (1950). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta
10) Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2021). Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 131 Tahun 2021 tentang Grand Design Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2022–2042
11) Zavatarro, S. (2014). Place Branding Through Phases of the Image. London: Palgrave Macmillan